Farmakologi:
Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA
(Renin-Angiotensin-Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan PRA
(Plasma Renin Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna,
hipertensi renovaskular dan pada kira-kira 1/6-1/5 hipertensi essensial. Kaptopril
juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada
hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang
efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi
dengan tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan b-blocker
memberikan efek yang kurang aditif.
Indikasi:
Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat diatasi
dengan pengobatan kombinasi lain. Kaptopril dapat dipergunakan sendiri
atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid.
Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol
dengan diuretik dan digitalis.
Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor
lainnya.
Dosis:
Dewasa:
Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali
sehari.
Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan
darah, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.
Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari,
sebaiknya dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.
Efek samping:
Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan pengecapan, neutropenia,
proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan hipotensi. Efek samping ini
bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril kurang dari 150
mg per hari, efek samping ini dapat dikurangi tanpa mengurangi
khasiatnya. Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya asthenia,
gynecomastia.
Peringatan dan perhatian:
Neutropenia/agranulositosis:
Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil
kurang dari 1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan,
insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal (kreatinin
serum > 2 mg/dl), dan menjadi 7,2% (8/111) pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti lupus (SLE) atau
skleroderma. Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan
reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3 minggu) atau
dosisnya diturunkan. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga
penderita yang mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit
(obat-obat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus
dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan
pertama pengobatan dan periodik setelah itu. Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada
dokternya bila mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena
mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia.
Proteinuria/sindroma nefrotik:
Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2%
(70/5769) penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril. Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria
sebelum pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada dosis
kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari.
Pada penderita dengan penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan,
insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni 1% pada dosis kaptopril
> 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi kira-kira 1/5 (7/34) penderita
dengan proteinuria.
Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum
ada. Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu disebabkan
oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik jugma ditemukan pada
penderita hipertensi yang tidak mendapat kaptopril. Proteinuria yang terjadi
pada penderita tanpa penyakit ginjal sebelumnya pengobatan tidak disertai
dengan gangguan fungsi ginjal. Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan
pengobatan (range 4 hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria
menetap meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada penderita dengan risiko
tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum pengobatan,
sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.
Gagal ginjal/akut:
Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala ini muncul
dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan kasus) reversibel atau
stabil meski pengobatan diteruskan, sedangkan pada yang berat dan progresif,
obat harus dihentikan. Gejala ini akibat berkurangnya tekanan perfusi ginjal
oleh kaptopril, dan karena kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang
diperlukan untuk konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan
filtrasi glomerulus pada stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal yang akut dan
progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi
tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal
tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi tersebut,
pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin
serum dan BUN), dan dosis kaptopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi
azotemia yang progresif, kaptopril harus dihentikan dan gejala ini reversibel
dalam 7 hari.
Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus:
Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat
menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus. Apabila pada
pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka pemberian obat harus
dihentikan dengan segera. Pada kehamilan trimester II dan III dapat menimbulkan
gangguan antara lain; hipotensi, hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal
ginjal reversibel atau irreversibel dan kematian.
Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial,
perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan, retardasi
intrauteri, patenduktus arteriosus.
Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya
mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang
kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.
Interaksi obat:
Pemberian obat diuretik hemat kalium
(spironolakton-triamteren, anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan
hati-hati karena adanya bahaya hiperkalemia.
Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat
menghambat efek kaptopril.
Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien
yang diberi kaptopril dan simetidin.
Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan,
terutama gagal ginjal kronik.
Cara penyimpanan:
Simpan di tempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.
No comments:
Post a Comment